Selasa, 12 Februari 2013

Kedudukan dan Peran Peradilan Militer Di Indonesia


I. PENDAHULUAN
A. Sejarah Perkembangan Peradilan Militer di Indonesia
Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamirkan Kemerdekaan bengsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka sejak itu berakhir penjajahan di seluruh Indonesia yang menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu mengatur diri sendiri.
Untuk mengatur kehidupan bernegara, maka pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia  mengadakan sidang khusus untuk mensahkan Undang-unang Dasar negar Republik Indonesia. Setelah diadakan perubahan-perubahan dalam naskah UUD, maka pada 18 Agustus 1945 naskah UUD tersebut oleh PPKI disahkan sebagai UUD 1945 yang berlaku di seluruh wilayah RI.
Di dalam UUD 1945 sebelum amandemen terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang kehidupan Peradilan di Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 24 ayat (1) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang, sedangkan ayat (2) nya menetapkan bahwa susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Peralihan pasal II UUD 1945 pada masa itu, seyogyanya Peradilan militer mengambil alih peradilan militer yang ada pada masa pemerintahan Jepang, akan tetapi hal itu tidak dilakukan, Peradilan baru dibentuk setelah dikeluarkannya undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang adanya Pengadilan Ketentaraan disamping Pengadilan Biasa.[1]
Dengan dibentuknya pengadilan Tentara Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946, maka dikeluarkanlah Undang-undang nomor 8 Tahun 1946 yaitu Peraturan Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara. Pada waktu itu keadaan negara dalam kondisi terancam, karena pemerintahan kolonial Belanda dengan membonceng tentara sekutu bermaksud menjajah kembali NKRI, maka untuk menyesuaikan dengan situasi dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan.
Setelah terbentuk Pemerintah Republik Indonesia Serikat, maka terjadi lagi perubahan baik undang-undang mengenai susunan dan kekuasaan kehakiman dengan disahkannya undang-undang darurat Nomor 16 ahun 1950 menjadi undang-undang nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Ketentaraan, sedangkan Undang-undang Darurat nomor 17 tahun 1950 ditetapkan pula sebagai hukum acara pidana pengadilan tentara.[2]
Berdasar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 maka ditentukan bahwa ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan Tentara serta jaksa pada Pengadilan Negeri menjadi Jaksa pada Pengadilan tentara. Jika tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan, hal ini disebabkan pada saat itu belum terdapat tenaga-tenaga ahli dikalangan tentara untuk ditempatkan pada fungsi yang telah ditentukan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Peradilan Tentara dalam arti formil sudah ada, sedangkan dalam arti materilnya dikarenakan alasan tersebut di atas, maka system Peradilan masih dijalankan pleh personil nonmiliter yang telah terdidik dalam bidang hukum.[3]
Berdasarkan undang-undang nomor 6 tahun 1950 peranan komandan selaku Ankum tidak banyak berperan, dapat saja seorang tersangka sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan tanpa sepengetahuan dari Ankum yang bersangkutan. Ankum akan kehilangan anak buahnya yang dihukum tanpa sepengetahuannya, hal ini akan mempengaruhi mobilitas dari suatu kesatuan.
Dengan sistem ini wewenang Ankum sebagai penanggung jawab daripada kesatuannya merasa dilampauidan akan menimbulkan salah pengertian antara komandan selaku penanggung jawab keamanan dan ketertiban disatu pihak dengan jaksa yang bertanggungjawab menegakkan hukum di lain pihak. Untuk menjaga jangan sampai terjadi bentrokan antara jaksa dan komandan maka dalam perkembangannya melihat kondisi dan kebutuhan peradilan militer itu sendiri, lahirlah undang-undang nomor 29 tahun 1954 tentanng pertahanan Negara Republik Indonesia yang dalam pasal 35 menyebutkan “Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan komandan mempunyai hak penyerah perkara”.[4]
Sebagai realisasi dari isi pasal 35 itu kemudian lahirlah undang-undang nomor 1 Drt tahun 1958 mengenai Hukum Acara Pidana Tentara yang merubah undang-undang nomor 6 tahun 1950. dengan adanya undang-undang tersebut maka Ankum harus ikut menentukan nasib anak buahnya dalam rangka penyelesaian kasus pidana dan membatasi ikut campur pihak lain di dalam kesatuannya.
Dengan berlakunya undang-undang nomor 1 Drt  tahun 1958, wewenang jaksa berpindah ketangan komandan. Berpindahnya wewenang sebagai pengusut, penuntut dan penyerah perkara kepada komandan, maka fungsi jaksa tentara dikurangi yang tadinya bersifat aktif menjadi pasif. Karena situasi politik semakin stabil, maka kehidupan militer semakin mantap hingga terpikir untuk mengadakan penggantian terhadap tenaga Hakim dan Jaksa Tentara yang masih dirangkap Hakim dan Jaksa Pengadilan Negeri dengan tenaga Militer yang aktif ahli hukum. Untuk mendapatkan tenaga ahli hukum dikalangan militer maka pada tahun 1952 didirikan Akademi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Hukum Militer. Setelah didapatkan tenaga aktif yang berpendidikan hukum, mulai tahun 1961 diadakan penggantian terhadap tenaga-tenaga Hakim, Jaksa Tentara dari Pengadilan Negeri dengan tenaga-tenaga aktif tersebut. Penggantian tenaga tersedia didasarkan dari instruksi Menteri Jaksa Agung No. 157/MDJAG/1961/SI tanggal 11 April 1961 yang menginstruksikan kepada semua jaksa tentara Pengadilan Negeri menyerahkan tugas rangkapan mereka kepada tenaga-tenaga Jaksa Tentara yang berasal dari ABRI.
Hal ini menyempurnakan prinsip unity of command sejajar dengan kehendak undang-undang nomor 29 tahun 1954, pada 19 September 1961 lahirlah Surat Keputusan Bersama KASAD dan Menteri Jaksa Agung Nomor MK/KPTS-189/9/1961 dimana Menteri Jaksa Agung mengalihkan wewenang, kekuasaan dan tanggung jawabnya yang berhubungan dengan kejaksaan tentara.
Yang dialihkan ialah wewenang dan tanggung jawab Menteri Jaksa Agung selaku pimpinan Departemen Kejaksaan, khusus yang berhubungan dengan kejaksaan tentara. Maka sejak itu sebenarnya pengadilan tentara sudah terwujud dalam arti baik formil maupun materil.[5]
B. Hukum Acara Khusus Bagi Tentara
Walaupun sebagai warga Negara RI tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih disiplin dalam organisasinya. Sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai tujuan tugasnya yang pokok.
Pengertian tentara secara formilnya menurut Undang-undang dapat ditemukan dalam pasal 46, 47, dan 49 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (S. 1934-164 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947.
Pasal 46 ayat (1) yang dimaksud dengan tentara adalah:
Ke.1. mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut.
Ke.2. Semua Sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka berada di luar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam pasal 97, 99 dan 139 KUHPT.
Pasal 47: Barangsiapa yang kenyataannya bekerja pada Angkatan Perang, menurut hukum dipandang sebagai militer,, apabila dapat diyakinkan bahwa dia tidak termasuk dalam salah satu ketentuan dalam pasal di atas.
Pasal 49 ayat (1) termasuk pula sebagai anggota Angkatan Perang.
Ke.1. para bekas tentara yang dipekerjakan untuk dinas ketentaraan.
Ke.2. komisaris-komisaris yang berkewajiban ketentaraan yang berpakaian dinas tentara tiap-tiap kali apabila mereka itu melakukan.
Ke.3. para perwira pensiunan, para anggota suatu pengadilan tentara (luar biasa) yang berpakaian dinas demikian itu.
Ke.4. mereka yang memakai pangkat militer titular baik oleh atau bedasarkan undang-undang atau dalam waktu keadaan bahaya diberikan oleh atau bedasarkan peraturan Dewan Pertahanan, selama dan sebegitu jauh mereka dalam menjalankan tugas kewajibannya, berdasarkan mana mereka memperoleh pangkat militer titular tersebut.
Di dalam pasal 45 KUHPT, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Angkatan Perang adalah:
1.       Angkatan Darat dan Militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya terhitung juga personil cadangan (nasional)
2.       Angkatan laut dan militer wajib yang termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangannya (nasional)
3.       Angkatan udara dan militer wajib termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangannya (nasional)
4.       Dalam waktu perang mereka yang dipanggil menurut undang-undang untuk turut serta melaksanakan pertahanan atau pemeliharaan keaman dan ketertiban.
Angkatan perang merupakan wadah bagi orang-orang yang ditugaskan untuk berperang, maka pasal 46 dan 47 merupakan penegasan siapa-siapa orangnya yang termasuk di dalam wadah tersebut.[6]
II.  KEDUDUKAN DAN PERANAN PERADILAN MILITER
A. Sebuah Pengantar
Konstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada keculalinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.
Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga Negara yang mempunyai keistimewaan, termasuk dalam masalah peradilan, semua warga Negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga Negara tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus bisa menjalankan dan mengayomi para pihak yang berpekara di pengadilan.[7]
Dari sudut kompetisi sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia mengenal 5 macam jenil peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi, masing-masing peradilan mempunyai obyek dan subyek yang berbeda dan kekhususan tersendiri.
Kompetisi peradilan umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara pidana terdakwanya—selama ini berasal dari kalangan rakyat sipil (di dalamnya termasuk terdakwa yang berasal dari polri) atau bisa dari kalangan rakyat sipil dan kalangan militer (perkara koneksitas). Sedangkan perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum  pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum, papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer.[8]
Era reformasi yang menuntut transparansi, kebebasan, demokratisasi dan persamaan hak, berimbas kepada penyelenggaraan peradilan. Prinsip equality before the law menghendaki tidak ada warga Negara yang mendapat prevelege apalagi dalam bidang peradilan. Oleh karena  itu tuntutan bahwa militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum terus bergaung dan puncaknya adalah dikeluarkannya TAP MPRI RI Nomor VI/2000 dan TAP MPR RI Nomor VIII/2000 Jo Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang ATNI yang menegaskan bahwa anggota militer yang melakukan kejahatan umum di bawa ke pengadilan sipil. Sedangkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota militer baik tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan perundan-undangan pidana lainnya, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di peradilan militer.[9]
Melihat semangat yang terkandung dalam TAP MPR RI dan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usul inisiatif perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan alasan supaya terjadi sinkronisasi dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terkait dengan Sistem peradilan pidana, bahwa Sistem Peradilan Pidana bisa diartikan sebagai sebuah jaringan interkoneksi yang melibatkan seluruh komponen sub sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan. Pengertian ini tidak bersifat spesifik dalam arti tidak merujuk kepada satu sistem peradilan pidana (baik peradilan umum maupun peradilan militer). Oleh karena itu mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh setiap orang baik kalangan sipil maupun militer, maka membuka celah bahwa dua sistem peradilan yaitu peradilan umum dan peradilan militer bisa dijadikan satu.
Secara yuridis eksistensi peradilan militer dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunagan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan Negara dan oleh sebuah mahkamah Konstitusi.
Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.
Keberadaan/eksistensi peradilan militer memang harus dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah lingkup kewenangannya tetap mengadili pelanggaran tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI atau hanya mengadili tindak pidana militer, sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dilakukan di peradilan sipil/umum.[10]
Ketetapan MPR RI Nomor VII/2000 khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a berbunyi: ”Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Kemudian RUU Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer menghendaki bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diadili di peradilan umum.”
Untuk mengurangi permasalahan ini, maka pembaharuan hukum harus diarahkan kepada pembangunan sistem hukum, yang meliputi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Pembangunan struktur hukum dalam hal ini kelembagaan hukum harus diarahkan kepada terbentuknya satu lembaga hukum yaitu peradilan yang independen (Independence of Judiciary). Sebuah peradilah harus bebas dari pengaruh, direktiva, dan interpensi dari siapapun. Dan ini tercermin dari adanya kebebasan hakim dalam mengadili perkara pidana, kebebasan hakim tidak mungkin terjadi apabila masih terikat rantai komando atau adanya hubungan yang sub ordinasi. Pembangunan substansi hukum harus diarahkan kepada pembentukan suatu undang-undang yang komprehensif, dalam hal ini perubahan undang-undang peradilan harus diikuti dengann perubahan dalam hukum materil, hukum formil dan hukum pelaksanaann pidana. Sinkronisasi perlu dilakukan sebelum terbentuknya undang-undang peradilan pidana militer yang baru yaitu UUD 1945, Undang-undang kekuasaan kehakiman, Undang-undang Mahkamah Agung dan Undang-undang pemasyarakatan.
Menentukan perbuatan mana yang dikategorikan sebagai tindak pidana umum oleh seorang prajurit TNI, pertama-tama bisa dilihat dalam KUHP dan perundang-undangan lainnya. Pelanggaran terhadap ketentuan nini harus diadili di peradilan umum. Sedangkan perbuatan yang menyangkut kehormatan korps dan pelanggaran ketentuan pidana umum yang luar biasa misalnya genocide, pelanggaran terhadap hukum perang di peradilan Militer. Memilah-milah mana yang merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana umum dan mana pelanggaran yang hanya bisa dilakukan oleh seorang militer merupakan persoalan utama yang harus terlebih dahulu dibicarakan/dilakukan.[11]
Tidak ketinggalan harus dibahas adalah hukum acara pidana, pembenahan pertama adalah merekonstruksi sub sistem peradilan pidana yang bisa mencakup semua unsur peradilan yang selama ini ada misalnya bagaimana menyatukan penyidik dengan polisi militer, papera, dan ankum, kemudian jaksa dengan otmil serta pengadilan dengan mahmil. Sehingga kalau ini sudah beres dengan sendirinya peradilan koneksitas tidak diperlukan lagi. Termasuk pembenahan dalam hukum acara pidana adalah pembenahan tentang lembaga penahanan (baik yang ada di polisi, polisi militer, Rutan, dan RTM) sampai kepada lembaga pemasyarakatan (militer).
Pembangunan bidang budaya hukum harus diarahkan kepada pentaatan kepada hukum, seorang prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus tunduk disidik oleh penyidik polisi, atau jaksa, dan ini memerlukan masa transisi yang agak lama.
Pembangunan sistem hukum secara komprehensif akan menghilangkan ketidakharmonisan dalam penegakan hukum pidana. Keberhasilan suatu penegakan hukum pidana tidak melulu berada pada lembaga hukum, tetapi masyarakat mempunyai tanggungjawab yang sama dengan lembaga-lembaga hukum lainnya.
Melihat RUU Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, terlihat beberapa pengaturan yang tumpang tindih, misalnya pasal  tentang tata usaha militer seharusnya tidak diatur dalam undang-undang ini mengingat militer merupakan bagian dari Negara dan ini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagai catatan tambahan, dalam pembaharuan sistem hukum hendaknya juga disertakan pembaharuan hukum tentang contemp of court. Aturan contemp of court harus bisa menjangkau siapapun yang terlibat dalam penegakan hukum. termasuk didalamnya adalan masyarakat. Sebagai wakil Tuhan di dunia hakim seharunya mendapat penghormatan dan perlindungan. Contemp of Court hendaknya bisa menjangkau kepada “perbuatan yang tidak mentaati putusan pengadilan”, sehingga apabila menyangkut peradilan yang melibatkan prajurit TNI, institusi TNI tidak bisa melakukan dis obey terhadap putusan pengadilan yang telah dijatuhkan.[12]
B. RUU Peradilan Militer Sebagai Wujud Kepastian Hukum
Adanya kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan Militer merupakan sebuah langkah maju dalam reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi peradilan militer. Paling tidak, setelah perdebatan yang tak berujung pangkal mengenai jurisdiksi peradilan militer, kita bisa melangkah lebih jauh pada hal-hal yang tidak kalah krusial untuk dibahas.
Dalam pertemuan antara DPR dengan Pemerintah beberapa waktu yang lalu tersebut disepakati untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan Militer di tingkat Panitia Kerja (Panja), di mana akan dibahas beberapa hal antara lain tentang pengadilan koneksitas, serta definisi tindak pidana umum yang dilakukan prajurit Tentara Nasional Indonesia. Selain itu, ada usulan untuk melakukan penyesuaian terhadap KUHP, KUHAP, dan KUHP Militer sebelum aturan tentang Peradilan Militer direvisi. Mencermati perkembangan tersebut, tim advokasi imparsial merasa menyampaikan beberapa hal, yaitu:[13]
1. Sebagai perangkat dasar bagi warga negara untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya, sekaligus juga untuk menjaga dan melindungi kualitas kewarganegaraan yang demokratis, harus ada kejelasan mengenai jurisdiksi peradilan, serta independensi dan fairness dari pengadilan. Dengan demikian sebuah sistem peradilan yang independen, tidak terkooptasi oleh kekuasaan lain, serta menjamin due process of law, merupakan condition sine qua non bagi perlindungan hak asasi manusia.
2. Dengan tercapainya kesepakatan mengenai jurisdiksi peradilan militer, menjadi tidak relevan untuk membahas peradilan koneksitas. Penghapusan mekanisme perkara koneksitas tidak hanya dengan mencabut perkara koneksitas dalam undang-undang tentang peradilan militer, tetapi juga harus dibarengi dengan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan yang bersifat internal dari TNI dan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan perihal penggunaan perkara koneksitas di seluruh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
3. Reformasi peradilan militer dengan membatasi jurisdiksi peradilan militer, sebagai bagian dari perbaikan kualitas demokrasi dan politik kewarganegaraan kita, tidak serta merta menghapus kebutuhan akan sebuah peradilan militer yang kuat dan independen. Peradilan militer tetap diperlukan sebagai mekanisme kontrol internal terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh prajurit TNI.
4. Tentara Nasional Indonesia, sebagai sebuah institusi yang selama ini menjadi tulang punggung Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus tetap menjunjung tinggi keadilan dengan menempatkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI sebagai tanggung jawab personal. Dengan demikian, institusi TNI akan semakin kuat, bersih dan berwibawa.
5. Di tataran teknis perundang-undangan, tidak ada perubahan mendesak yang harus dilakukan terhadap KUHP, mengingat di dalam KUHP kita tidak ada pengaturan khusus ataupun pengecualian terhadap subyek hukum tertentu, khususnya prajurit TNI.
6. KUHAP Militer selama ini merupakan bagian dari UU no. 31/1997 tentang Peradilan Militer. Dengan demikian, pembahasan RUU Peradilan Militer mencakup pula revisi terhadap KUHAP Militer. Akan menjadi lebih baik apabila KUHAP Militer ini ditempatkan sebagai aturan tersendiri yang terpisah dari UU Peradilan Militer, sehingga UU Peradilan Militer sepenuhnya mengatur mengenai organisasi, struktur dan fungsi peradilan militer.
7. KUHP Militer yang kita miliki saat ini adalah Wetboek van Militair Strafrecht voor Nederlands Indie (Stb. 1934 Nr. 167) yang kemudian diubah menjadi UU No. 39 Tahun 1947. UU tersebut sudah diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tanggal 1 Oktober 1934 dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Maret No. 35 Bbl. 1934 Nr. 337. Dengan demikian, memang sudah selayaknya kita menyusun KUHP Militer yang baru.
8. Presiden harus segera menyampaikan surat resmi sebagai jawaban atas surat DPR sekaligus untuk mempertegas posisi Pemerintah terhadap RUU Peradilan Militer. Dengan demikian, Pansus Peradilan Militer serta Departemen Pertahanan dan Departemen Hukum dan HAM dapat melanjutkan tugasnya dalam Panitia Kerja RUU Peradilan Militer untuk membahas hal-hal lain yang juga harus segera dituntaskan dalam proses reformasi peradilan militer ini.
9. Penegasan Panglima TNI mengenai doktrin baru TNI Tri Dharma Eka Karma, memperkuat kembali signifikansi penegasan jusrisdiksi peradilan militer sesuai dengan fungsi dasar TNI sebagai alat pertahanan Negara.[14]
B. Analisis Terhadap PNS TNI Yang Melakukan Tindak Pidana BerkaitanDengan Tugas/Jabatan Diadili Di Peradilan Militer
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan militer.
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Demikian bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001. Hal ini menunjukan apapun agama, profesi, kedudukan sosial, suku, dan lain-lain adalah sama di muka hukum (equality before the law). Demikian halnya profesi sebagai Prajurit TNI maupun PNS TNI adalah sama di muka hukum, kecuali telah ditentukan oleh undang-undang terlebih dahulu.
Mengingat peran TNI sebagai garda terdepan dalam menghadapi bahaya yang mengancam keutuhan bangsa, maka TNI harus kuat dan solid. Apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan Prajurit TNI, dan tindak pidana itu dapat memperlemah TNI, maka disediakan sarana berupa Peradilan Militer untuk penegakkan hukum, selain juga memiliki peran sebagai bagian pembinaan personil dan organisasi TNI.
Peradilan Militer tersebut, merupakan peradilan tersendiri terpisah dari Peradilan Umum, sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagai berikut :
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan-golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Militer (Prajurit TNI) merupakan golongan rakyat tertentu, bukan rakyat pada umumnya, dan Peradilan Militer, sampai saat ini masih dioperasikan untuk mengadili perkara (tindak) pidana.
Sedangkan bagi PNS TNI yang melakukan tindak pidana berkaitan dengan tugas/jabatannya di lingkungan organisasi TNI belum dapat diadili di Peradilan Militer, mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang menyebutkan secara tegas. Oleh karena itu akan dibahas secara singkat menyangkut filosofi PNS TNI, latar belakang keberadaannya, dan yurisdiksi Peradilan Militer, sebagai berikut :
Filosofi.
Pegawai Negeri Sipil sebagai mana halnya prajurit TNI merupakan Pegawai Negeri, sebagaimana diatur dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, khususnya Pasal 1 angka 1, yaitu :
Setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh Pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999 tersebut, Pegawai Negeri terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil.
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil memiliki kedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pemba ngunan, sesuai Pasal 3 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999.
Terlihat, bahwa PNS merupakan abdi/pelayan masyarakat pada umumnya. Sedangkan PNS yang bekerja di lingkungan TNI (dulu PNS ABRI), bukanlah melayani masyarakat pada umumnya. Lebih-lebih melayani Prajurit TNI, tetapi bersama-sama Prajurit TNI bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas pokok ABRI.
Dengan demikian terdapat perbedaan filosofi berkaitan dengan tugas/jabatan/pekerjaan diantara Pegawai Negeri Sipil, misalnya antara PNS di lingkungan Pemerintahan Daerah atau PNS suatu Departemen dengan PNS yang bekerja di lingkungan TNI.
Sedangkan prajurit TNI sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1998, yaitu :
Warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh Pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Menurut Kolonel Chk (Purn) SR Sianturi, SH, kata militer berasal dari bahasa Yunani “miles” yang berarti :
Seseorang yang dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan negara.
Latar Belakang keberadaan PNS TNI.
Belum diketahui secara pasti (formal) sejak kapan PNS berdinas di lingkungan TNI. Dimana pada awalnya, PNS hanya membantu tugas-tugas TNI atau dengan kata lain, tanpa PNS Prajurit TNI masih dapat menjalankan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, PNS disebut sebagai suplemen Prajurit TNI.
Sejalan dengan perkembangan situasi politik, dimana TNI juga dituntut berkiprah di luar bidang pertahanan keamanan, maka banyak tugas yang kemudian menjadi tidak efektif dan tidak efisien apabila dikerjakan sendiri oleh prajurit TNI, misalnya juru ketik. Meskipun pengetikan tersebut penting untuk mendukung tugas-tugas TNI.
Sehubungan kondisi tersebut diatas pada tahun 1983, Menhankam mengeluarkan Surat Telegram No. ST/127/M/1983 tanggal 7 Desember 1983 tentang kedudukan PNS sebagai komplemen. Secara gramatikal, komplemen dapat diartikan sebagai sesuatu yang melengkapi atau menyempurnakan. Dengan demikian, tanpa peran PNS, maka tugas-tugas (pokok) TNI tidak akan tercapai/tidak akan sempurna.
Makna komplemen sebagaimana tersebut diatas, dapat ditemukan dalam Bagian Umum Petunjuk Pembinaan Pegawai Negeri Sipil ABRI, sebagai berikut :
a. Organisasi ABRI, selain menggunakan prajurit ABRI, juga Pegawai Negeri Sipil ABRI dalam jumlah yang cukup besar. PNS ABRI merupakan “komplemen” dari Prajurit ABRI, oleh karena itu PNS ABRI dan Prajurit ABRI merupakan suatu kesatuan yang terpadu dan sama-sama bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas pokok ABRI. Keterpaduan tersebut harus tercermin dalam semua tingkat organisasi, dan kedua belah pihak wajib memahami peranan masing-masing.
b. Penggunaan PNS di lingkungan ABRI dilakukan selain atas pertimbangan adanya beberapa jabatan tertentu yang lebih efektif dan efisien dijabat oleh PNS ABRI, juga karena sifat penugasan pada umumnya relatif stasioner, artinya mereka pada dasarnya tidak terkena alih tugas secara geografis, sifat penugasan yang relatif stasioner, akan menjamin kontinuitas pelaksanaan tugas pokok ABRI.
c. Penugasan PNS ABRI di lingkungan ABRI tetap dibatasi dalam bidang non tempur yang bersifat administratif, teknis, medis/paramedis, dan tugas khusus.
d. PNS ABRI merupakan bagian dari PNS pada umumnya. Oleh karena itu, selain tunduk kepada ketentuan-ketentuan Mabes ABRI dan Dephankam, juga tunduk kepada peraturan/ketentuan yang bersifat umum bagi PNS, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Surat Edaran/Peraturan dari BAKN, LAN dan sebagainya.
Dari uraian diatas, terlihat latar belakang PNS TNI, adalah untuk mendukung tugas pokok TNI, meskipun dalam bidang non tempur. Dengan demikian, apa yang diketahui oleh Prajurit TNI juga diketahui oleh PNS TNI, juga termasuk sesuatu yang harus dirahasiakan oleh Prajurit TNI juga harus dirahasiakan PNS TNI.
Selain itu, berkaitan dengan sifat penugasan PNS TNI yang stasioner, masa pengabdian di lingkungan TNI secara umum jauh lebih lama dibandingkan dengan Prajurit TNI itu sendiri, misalnya untuk golongan Tamtama dan Bintara, mereka pensiun lebih cepat (usia 48 tahun) dibandingkan dengan pensiun PNS TNI (usia 56 tahun), meskipun dengan ijazah dan masuk (mengabdi) pada usia yang sama.
Sedangkan dilihat dari sudut kepentinganTNI dalam rangka pelaksanaan tugas pokoknya dikaitkan dengan sifat komplemen PNS TNI, maka dapat dikatakan keberhasilan maupun kegagalan tugas pokok TNI juga dapat ditentukan oleh aktifitas PNS TNI tersebut.
Yurisdiksi Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, diakitkan dengan Pasal 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), maka Peradilan Militer mengadili tindak pidana didasarkan pada subyeknya, yaitu prajurit (militer) atau yang dipersamakan. Dengan kata lain, selama ia militer, dan melakukan tindak pidana apa saja, baik tindak pidana militer (murni), seperti desersi, insubordinasi, dan lain-lain juga tindak pidana umum, seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, atau pencurian, dan lain-lain maupun tindak pidana khusus, seperti penyalahgunaan psikotropika/shabu-shabu, narkotika, korupsi, dan lain-lain diadili di peradilan militer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas-tugas/jabatan kemiliteran.
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan militer.
Sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang koneksitas, maka titik berat diadilinya seseorang warga sipil (civilian) di peradilan militer, karena unsur (kerugian) militer melebihi unsur sipil, sebagaimana Penjelasan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 14 Tahun 1970, sebagai berikut :
Penyertaan pada suatu delik militer yang murni oleh seorang bukan militer dan perkara penyertaan, di mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan Pengadilan lain dari pada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demikian.
Dengan demikian, selama akibat tindak pidana tersebut dapat dibuktikan merugikan kepentingan militer, misalnya pencurian senjata/amunisi di gudang senjata, membunuh caraka untuk memperoleh data/informasi militer, membakar gedung arsip/dokumen militer, dan lain-lain, maka pelaku akan diadili di Peradilan Militer.
Diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer di masa depan dapat merujuk kepeda kewenangan Peradilan Militer jaman Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu Krijgsraad berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran.
Orang-orang sipil tersebut, saat ini dapat diartikan sebagai Pegawai PNS TNI, karena kenyataannya bekerja di lingkungan TNI atau orang-orang sipil lainnya bukan PNS TNI tetapi bekerja di lingkungan TNI atau setidak-tidaknya memperoleh gaji dari TNI.
Selain itu, untuk mendukung dapat diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer, sebagai contoh adalah pelanggaran lalu lintas oleh PNS TNI, yaitu apabila PNS TNI mengemudikan kendaraaan dinas TNI, kemudian diberi bukti pelanggaran (tilang) oleh polisi Militer (POM) karena kedapatan tidak membawa SIM atau STNK, maka ia akan diproses oleh POM, selanjutnya disidang di pengadilan militer.
Mengingat tugas-tugas (pokok) TNI juga bergantung pada PNS TNI, maka sudah selayaknya PNS TNI yang melakukan tindak pidana karena jabatannya/tugas-tugasnya juga yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI dapat dijadikan yurisdiksi peradilan militer. Selain itu, keutuhan atau kekuatan suatu bangsa (negara) juga bergantung pada keutuhan atau kekuatan militernya. Sebagaimana disampaikan oleh Kasad, yaitu untuk menghancurkan suatu negara, maka harus dihancurkan tentaranya terlebih dahulu.
Dari penyampaian tersebut dapat dikatakan, ada korelasi positif antara tentara (militer) yang kuat, utuh dan solid dengan eksistensi suatu negara (bangsa). Demikian pula sebaliknya, apabila tentara suatu negara lemah, terpecah-pecah, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mudah hancur.
Dimungkinkannya PNS TNI yang melakukan tindak pidana berkaitan dengan
tugas-tugas/jabatannya atau yang dapat diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI atau dengan kata lain merugikan unsur (kepentingan) militer, diproses melalui Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM), maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu berkaitan dengan Ankum dan Papera, karena selama ini ketentuan tentang keankuman dan kepaperaan hanya untuk Prajurit TNI (militer).
Demikian halnya apabila PNS TNI melakukan tindak pidana tidak berkaitan dengan tugas/jabatannya, tetapi tempat kejadian perkara (locus delicti) terjadi di dalam markas/pangkalan atau yang dipersamakan dengan markas/pangkalan (military property), apakah penyidik sipil (Polri) dapat diijinkan melakukan penyelidikan di dalam markas/pangkalan tersebut. Mengingat sampai saat ini, belum ada Undang-Undang yang mengatur dan adanya resistensi, sebagaimana dinyatakan oleh Laksa Mahmilgung, yaitu :
Tradisi keprajuritan seperti, cepat bereaksi, L’esprit de corps, loyalitas, kesetiakawanan, berani dan rela berkorban ini menjadikan setiap prajurit sangat rawan dalam kecenderungan menolak bahkan melawan terhadap orang lain (bukan prajurit) yang masuk untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut prajurit atau kesatuannya. Lebih rentan lagi, karena tugasnya, prajurit membawa senjata.
Mengingat masih adanya kesulitan-kesulitan di lapangan nantinya, disarankan diadakan diskusi-diskusi atau tukar pikiran (curah pendapat) terlebih dahulu dengan pejabat-pejabat PNS, khususnya di lingkungan TNI juga dari Departemen dibawah Menpan berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan PNS TNI berkaitan dengan tugas/jabatannya untuk diadili di Pengadilan Militer. Selain itu, perlu diadakan amandemen (perubahan) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, khususnya Pasal 9 angka 1 dan diletakan menjadi huruf e dengan bunyi : PNS TNI berkaitan dengan tugas jabatan atau tidak berkaitan dengan tugas jabatan tetapi dilakukan didalam Markas TNI atau yang dipersamakan dengan Markas TNI.
Lebih dari itu, mengingat peran PNS TNI bukan lagi sebagai suplemen Prajurit TNI tetapi sudah menjadi komplemen, dan semata-mata untuk kepentingan tugas pokok TNI, maka sudah saatnya PNS (pejabat PNS TNI atau mereka yang memahami peran-peran PNS TNI) diberikan kesempatan untuk memberikan semacam penyuluhan (hukum) kepada prajurit TNI berkaitan dengan keberadaan PNS TNI dalam organisasi TNI, peran, hubungannya dengan tugas-tugas pokok TNI dan prajurit TNI status, pendidikan, karir, dan lain-lain, karena (diperkirakan) masih banyak prajurit TNI yang belum memahami atau belum mengetahui peran-peran PNS TNI sebagaimana tersebut di atas.[15]
III. KESIMPULAN
Dari makalah yang kami susun ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan secara umum, yaitu sebagai berikut:
1.       Undang-undang mengenai kekuasaan kehakiman dalam perdilan militer terus berkembang di Indonesia. Yang tadinya hanya terdiri dari formilnya saja, sampai telah mencakup segi materilnya juga. Pengertian tentara secara formilnya menurut Undang-undang dapat ditemukan dalam pasal 46, 47, dan 49 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (S. 1934-164 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947.
2.       Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.
3.       Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan militer.
4.       Diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer di masa depan dapat merujuk kepada kewenangan Peradilan Militer jaman Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu Krijgsraad berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran.
IV. PENUTUP DAN SARAN
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu hukum ketatanegaraan di Indonesia. kami mohon maaf apabila di dalam makalah yang kami susun masih terdapat banyak kekurangan.
Adapun saran-saran dari kami yang menyangkut tema makalah yang kami susun adalah sebagai berikut:
1.       Sejarah perkembangan Peradilan militer di Indonesia harusnya dapat menjadikan gambaran bagaimana idealnya system peradilan militer tersebut. Sehingga dapat terbentuk kepastian hukum dalam lingkup kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak lain.
2.       Pembangunan bidang budaya hukum harus diarahkan kepada pentaatan kepada hukum, seorang prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus tunduk disidik oleh penyidik polisi, atau jaksa, dan ini memerlukan masa transisi yang agak lama.
3.       Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Demikian bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001. Hal ini menunjukan apapun agama, profesi, kedudukan sosial, suku, dan lain-lain adalah sama di muka hukum (equality before the law). Demikian halnya profesi sebagai Prajurit TNI maupun PNS TNI adalah sama di muka hukum, kecuali telah ditentukan oleh undang-undang terlebih dahulu.
V. DAFTAR PUSTAKA
-          Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar BahasaIndonesia, cet.2, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
-          Faisal Salam, Moch. Hukum Acara Pidana Militer Di Indonesia. cet 2. Bandung: Mandar Maju, 2002.
-          Indrajit, Kapten Chk, Analisis Terhadap PNS TNI Yang Melakukan Tindak Pidana Berkaitan Dengan Tugas/Jabatan Diadili Di Peradilan Militer. Artikel dari Internet.
-          Setiadi, Edi. Sebuah Makalah Pengantar. Artikel dari Internet. Bandung: 23 Desember 2006.
-          Sianturi, S.R. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, cet.2, Jakarta ; Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985.
-          Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, bogor : Politela, 1981.
-          Subekti, R. dan Tjitrosudibio. Kamus Hukum, cet. 10, Jakarta ;Pradnya Paramita, 1989.
-          Soegiri, dkk. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, cet. 1, Jakarta ; Indra djaja, 1976.
-          Tarigan, N., Laksamana Muda TNI. “Kekuasaan Peradilan atas Pelanggaran Hukum Pidana Umum oleh Tentara,” Makalah disampaikan pada seminar sehari tentang “Metoda (Format) Implementasi Praktis dari Ketetapan (TAP) MPR nomor : VII/MPR/2000.” Yayasan Sandi Perkotaan (Sandikota), Jakarta: 13 Pebruari 2001.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com