I. PENDAHULUAN
A. Sejarah
Perkembangan Peradilan Militer di Indonesia
Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri
dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamirkan Kemerdekaan
bengsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka sejak itu berakhir penjajahan di
seluruh Indonesia yang menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu mengatur diri
sendiri.
Untuk mengatur kehidupan bernegara, maka pada 18
Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan sidang
khusus untuk mensahkan Undang-unang Dasar negar Republik Indonesia. Setelah
diadakan perubahan-perubahan dalam naskah UUD, maka pada 18 Agustus 1945 naskah
UUD tersebut oleh PPKI disahkan sebagai UUD 1945 yang berlaku di seluruh
wilayah RI.
Di dalam UUD 1945 sebelum amandemen terdapat
pasal-pasal yang mengatur tentang kehidupan Peradilan di Indonesia seperti yang
tercantum dalam pasal 24 ayat (1) yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang,
sedangkan ayat (2) nya menetapkan bahwa susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman itu diatur dengan Undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Peralihan pasal II UUD 1945 pada
masa itu, seyogyanya Peradilan militer mengambil alih peradilan militer yang
ada pada masa pemerintahan Jepang, akan tetapi hal itu tidak dilakukan,
Peradilan baru dibentuk setelah dikeluarkannya undang-undang Nomor 7 Tahun 1946
tentang adanya Pengadilan Ketentaraan disamping Pengadilan Biasa.[1]
Dengan dibentuknya pengadilan Tentara Berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946, maka dikeluarkanlah Undang-undang nomor 8
Tahun 1946 yaitu Peraturan Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara. Pada
waktu itu keadaan negara dalam kondisi terancam, karena pemerintahan kolonial
Belanda dengan membonceng tentara sekutu bermaksud menjajah kembali NKRI, maka
untuk menyesuaikan dengan situasi dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan Kejaksaan dalam lingkungan
Peradilan Ketentaraan.
Setelah terbentuk Pemerintah Republik Indonesia
Serikat, maka terjadi lagi perubahan baik undang-undang mengenai susunan dan
kekuasaan kehakiman dengan disahkannya undang-undang darurat Nomor 16 ahun 1950
menjadi undang-undang nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan
Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Ketentaraan, sedangkan
Undang-undang Darurat nomor 17 tahun 1950 ditetapkan pula sebagai hukum acara
pidana pengadilan tentara.[2]
Berdasar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 maka
ditentukan bahwa ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua
Pengadilan Tentara serta jaksa pada Pengadilan Negeri menjadi Jaksa pada
Pengadilan tentara. Jika tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman
dan Menteri Pertahanan, hal ini disebabkan pada saat itu belum terdapat
tenaga-tenaga ahli dikalangan tentara untuk ditempatkan pada fungsi yang telah
ditentukan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Peradilan Tentara dalam arti
formil sudah ada, sedangkan dalam arti materilnya dikarenakan alasan tersebut
di atas, maka system Peradilan masih dijalankan pleh personil nonmiliter yang
telah terdidik dalam bidang hukum.[3]
Berdasarkan undang-undang nomor 6 tahun 1950 peranan
komandan selaku Ankum tidak banyak berperan, dapat saja seorang tersangka sudah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan tanpa sepengetahuan dari Ankum yang
bersangkutan. Ankum akan kehilangan anak buahnya yang dihukum tanpa
sepengetahuannya, hal ini akan mempengaruhi mobilitas dari suatu kesatuan.
Dengan sistem ini wewenang Ankum sebagai penanggung
jawab daripada kesatuannya merasa dilampauidan akan menimbulkan salah
pengertian antara komandan selaku penanggung jawab keamanan dan ketertiban
disatu pihak dengan jaksa yang bertanggungjawab menegakkan hukum di lain pihak.
Untuk menjaga jangan sampai terjadi bentrokan antara jaksa dan komandan maka
dalam perkembangannya melihat kondisi dan kebutuhan peradilan militer itu
sendiri, lahirlah undang-undang nomor 29 tahun 1954 tentanng pertahanan Negara
Republik Indonesia yang dalam pasal 35 menyebutkan “Angkatan Perang mempunyai
peradilan tersendiri dan komandan mempunyai hak penyerah perkara”.[4]
Sebagai realisasi dari isi pasal 35 itu kemudian
lahirlah undang-undang nomor 1 Drt tahun 1958 mengenai Hukum Acara Pidana
Tentara yang merubah undang-undang nomor 6 tahun 1950. dengan adanya
undang-undang tersebut maka Ankum harus ikut menentukan nasib anak buahnya dalam
rangka penyelesaian kasus pidana dan membatasi ikut campur pihak lain di dalam
kesatuannya.
Dengan berlakunya undang-undang nomor 1 Drt
tahun 1958, wewenang jaksa berpindah ketangan komandan. Berpindahnya wewenang
sebagai pengusut, penuntut dan penyerah perkara kepada komandan, maka fungsi
jaksa tentara dikurangi yang tadinya bersifat aktif menjadi pasif. Karena
situasi politik semakin stabil, maka kehidupan militer semakin mantap hingga
terpikir untuk mengadakan penggantian terhadap tenaga Hakim dan Jaksa Tentara
yang masih dirangkap Hakim dan Jaksa Pengadilan Negeri dengan tenaga Militer
yang aktif ahli hukum. Untuk mendapatkan tenaga ahli hukum dikalangan militer
maka pada tahun 1952 didirikan Akademi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Hukum
Militer. Setelah didapatkan tenaga aktif yang berpendidikan hukum, mulai tahun
1961 diadakan penggantian terhadap tenaga-tenaga Hakim, Jaksa Tentara dari
Pengadilan Negeri dengan tenaga-tenaga aktif tersebut. Penggantian tenaga
tersedia didasarkan dari instruksi Menteri Jaksa Agung No. 157/MDJAG/1961/SI
tanggal 11 April 1961 yang menginstruksikan kepada semua jaksa tentara
Pengadilan Negeri menyerahkan tugas rangkapan mereka kepada tenaga-tenaga Jaksa
Tentara yang berasal dari ABRI.
Hal ini menyempurnakan prinsip unity of command
sejajar dengan kehendak undang-undang nomor 29 tahun 1954, pada 19 September
1961 lahirlah Surat Keputusan Bersama KASAD dan Menteri Jaksa Agung Nomor
MK/KPTS-189/9/1961 dimana Menteri Jaksa Agung mengalihkan wewenang, kekuasaan
dan tanggung jawabnya yang berhubungan dengan kejaksaan tentara.
Yang dialihkan ialah wewenang dan tanggung jawab
Menteri Jaksa Agung selaku pimpinan Departemen Kejaksaan, khusus yang
berhubungan dengan kejaksaan tentara. Maka sejak itu sebenarnya pengadilan
tentara sudah terwujud dalam arti baik formil maupun materil.[5]
B. Hukum Acara
Khusus Bagi Tentara
Walaupun sebagai warga Negara RI tentara bukan
merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota tentara adalah juga sebagai
anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan
Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan
suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih disiplin dalam organisasinya. Sehingga
seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai tujuan tugasnya yang
pokok.
Pengertian tentara secara formilnya menurut
Undang-undang dapat ditemukan dalam pasal 46, 47, dan 49 dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Tentara (S. 1934-164 yang telah dirubah dan ditambah
dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947.
Pasal 46 ayat (1) yang dimaksud dengan tentara adalah:
Ke.1. mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada
Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam
tenggang waktu ikatan dinas tersebut.
Ke.2. Semua Sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang
dan para militer wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas,
demikian juga jika mereka berada di luar dinas yang sebenarnya dalam tenggang
waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah
satu tindakan yang dirumuskan dalam pasal 97, 99 dan 139 KUHPT.
Pasal 47: Barangsiapa yang kenyataannya bekerja pada Angkatan
Perang, menurut hukum dipandang sebagai militer,, apabila dapat diyakinkan
bahwa dia tidak termasuk dalam salah satu ketentuan dalam pasal di atas.
Pasal 49 ayat
(1) termasuk pula sebagai anggota Angkatan Perang.
Ke.1. para bekas tentara yang dipekerjakan untuk dinas
ketentaraan.
Ke.2. komisaris-komisaris yang berkewajiban
ketentaraan yang berpakaian dinas tentara tiap-tiap kali apabila mereka itu
melakukan.
Ke.3. para perwira pensiunan, para anggota suatu
pengadilan tentara (luar biasa) yang berpakaian dinas demikian itu.
Ke.4. mereka yang memakai pangkat militer titular baik
oleh atau bedasarkan undang-undang atau dalam waktu keadaan bahaya diberikan
oleh atau bedasarkan peraturan Dewan Pertahanan, selama dan sebegitu jauh
mereka dalam menjalankan tugas kewajibannya, berdasarkan mana mereka memperoleh
pangkat militer titular tersebut.
Di dalam pasal 45 KUHPT, menyebutkan bahwa yang
dimaksudkan dengan Angkatan Perang adalah:
1.
Angkatan Darat dan Militer wajib yang
termasuk dalam lingkungannya terhitung juga personil cadangan (nasional)
2.
Angkatan laut dan militer wajib yang
termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangannya (nasional)
3.
Angkatan udara dan militer wajib
termasuk dalam lingkungannya, terhitung juga personil cadangannya (nasional)
4.
Dalam waktu perang mereka yang dipanggil
menurut undang-undang untuk turut serta melaksanakan pertahanan atau
pemeliharaan keaman dan ketertiban.
Angkatan perang merupakan wadah bagi orang-orang yang
ditugaskan untuk berperang, maka pasal 46 dan 47 merupakan penegasan
siapa-siapa orangnya yang termasuk di dalam wadah tersebut.[6]
II. KEDUDUKAN DAN PERANAN PERADILAN MILITER
II. KEDUDUKAN DAN PERANAN PERADILAN MILITER
A. Sebuah
Pengantar
Konstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada keculalinya (Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.
Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga Negara
yang mempunyai keistimewaan, termasuk dalam masalah peradilan, semua warga
Negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama
apabila salah seorang warga Negara tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus
bisa menjalankan dan mengayomi para pihak yang berpekara di pengadilan.[7]
Dari sudut kompetisi sistem kekuasaan kehakiman di
Indonesia mengenal 5 macam jenil peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan
agama, peradilan tata usaha Negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi,
masing-masing peradilan mempunyai obyek dan subyek yang berbeda dan kekhususan
tersendiri.
Kompetisi peradilan umum, khususnya dalam perkara
pidana akan diproses melalui sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses
penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara
pidana terdakwanya—selama ini berasal dari kalangan rakyat sipil (di dalamnya
termasuk terdakwa yang berasal dari polri) atau bisa dari kalangan rakyat sipil
dan kalangan militer (perkara koneksitas). Sedangkan perkara pidana yang terdakwanya
berasal dari kalangan militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum
pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem
peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum, papera, Polisi Militer,
Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer.[8]
Era reformasi yang menuntut transparansi, kebebasan,
demokratisasi dan persamaan hak, berimbas kepada penyelenggaraan peradilan.
Prinsip equality before the law menghendaki tidak ada warga Negara yang
mendapat prevelege apalagi dalam bidang peradilan. Oleh karena itu
tuntutan bahwa militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan
umum terus bergaung dan puncaknya adalah dikeluarkannya TAP MPRI RI Nomor
VI/2000 dan TAP MPR RI Nomor VIII/2000 Jo Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang ATNI yang menegaskan bahwa anggota militer yang melakukan kejahatan
umum di bawa ke pengadilan sipil. Sedangkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997
tentang peradilan Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota
militer baik tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan
perundan-undangan pidana lainnya, juga tindak pidana militer sebagaimana
terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di peradilan militer.[9]
Melihat semangat yang terkandung dalam TAP MPR RI dan
Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Dewan Perwakilan Rakyat
mengajukan usul inisiatif perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer dengan alasan supaya terjadi sinkronisasi dengan
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terkait dengan Sistem peradilan pidana, bahwa Sistem
Peradilan Pidana bisa diartikan sebagai sebuah jaringan interkoneksi yang
melibatkan seluruh komponen sub sistem peradilan pidana dalam menanggulangi
kejahatan. Pengertian ini tidak bersifat spesifik dalam arti tidak merujuk
kepada satu sistem peradilan pidana (baik peradilan umum maupun peradilan
militer). Oleh karena itu mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh setiap orang
baik kalangan sipil maupun militer, maka membuka celah bahwa dua sistem peradilan
yaitu peradilan umum dan peradilan militer bisa dijadikan satu.
Secara yuridis eksistensi peradilan militer dimuat
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi : kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunagan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan Negara dan oleh
sebuah mahkamah Konstitusi.
Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek
maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang
dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP ke dalam
KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang melakukan
tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.
Keberadaan/eksistensi peradilan militer memang harus
dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah lingkup kewenangannya tetap
mengadili pelanggaran tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang
dilakukan oleh prajurit TNI atau hanya mengadili tindak pidana militer,
sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dilakukan di
peradilan sipil/umum.[10]
Ketetapan MPR RI Nomor VII/2000 khususnya Pasal 3 ayat
(4) huruf a berbunyi: ”Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum
dalam hal pelanggaran pidana umum. Kemudian RUU Perubahan Undang-undang Nomor
31 tahun 1997 tentang peradilan militer menghendaki bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh prajurit TNI diadili di peradilan umum.”
Untuk mengurangi permasalahan ini, maka pembaharuan
hukum harus diarahkan kepada pembangunan sistem hukum, yang meliputi struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Pembangunan struktur hukum dalam hal
ini kelembagaan hukum harus diarahkan kepada terbentuknya satu lembaga hukum
yaitu peradilan yang independen (Independence of Judiciary). Sebuah peradilah
harus bebas dari pengaruh, direktiva, dan interpensi dari siapapun. Dan ini
tercermin dari adanya kebebasan hakim dalam mengadili perkara pidana, kebebasan
hakim tidak mungkin terjadi apabila masih terikat rantai komando atau adanya
hubungan yang sub ordinasi. Pembangunan substansi hukum harus diarahkan kepada
pembentukan suatu undang-undang yang komprehensif, dalam hal ini perubahan
undang-undang peradilan harus diikuti dengann perubahan dalam hukum materil,
hukum formil dan hukum pelaksanaann pidana. Sinkronisasi perlu dilakukan
sebelum terbentuknya undang-undang peradilan pidana militer yang baru yaitu UUD
1945, Undang-undang kekuasaan kehakiman, Undang-undang Mahkamah Agung dan
Undang-undang pemasyarakatan.
Menentukan perbuatan mana yang dikategorikan sebagai
tindak pidana umum oleh seorang prajurit TNI, pertama-tama bisa dilihat dalam
KUHP dan perundang-undangan lainnya. Pelanggaran terhadap ketentuan nini harus
diadili di peradilan umum. Sedangkan perbuatan yang menyangkut kehormatan korps
dan pelanggaran ketentuan pidana umum yang luar biasa misalnya genocide,
pelanggaran terhadap hukum perang di peradilan Militer. Memilah-milah mana yang
merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana umum dan mana pelanggaran yang
hanya bisa dilakukan oleh seorang militer merupakan persoalan utama yang harus
terlebih dahulu dibicarakan/dilakukan.[11]
Tidak ketinggalan harus dibahas adalah hukum acara
pidana, pembenahan pertama adalah merekonstruksi sub sistem peradilan pidana
yang bisa mencakup semua unsur peradilan yang selama ini ada misalnya bagaimana
menyatukan penyidik dengan polisi militer, papera, dan ankum, kemudian jaksa
dengan otmil serta pengadilan dengan mahmil. Sehingga kalau ini sudah beres
dengan sendirinya peradilan koneksitas tidak diperlukan lagi. Termasuk
pembenahan dalam hukum acara pidana adalah pembenahan tentang lembaga penahanan
(baik yang ada di polisi, polisi militer, Rutan, dan RTM) sampai kepada lembaga
pemasyarakatan (militer).
Pembangunan bidang budaya hukum harus diarahkan kepada
pentaatan kepada hukum, seorang prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum
harus tunduk disidik oleh penyidik polisi, atau jaksa, dan ini memerlukan masa
transisi yang agak lama.
Pembangunan sistem hukum secara komprehensif akan
menghilangkan ketidakharmonisan dalam penegakan hukum pidana. Keberhasilan
suatu penegakan hukum pidana tidak melulu berada pada lembaga hukum, tetapi
masyarakat mempunyai tanggungjawab yang sama dengan lembaga-lembaga hukum
lainnya.
Melihat RUU Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997, terlihat beberapa pengaturan yang tumpang tindih, misalnya pasal
tentang tata usaha militer seharusnya tidak diatur dalam undang-undang ini
mengingat militer merupakan bagian dari Negara dan ini sudah diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagai catatan tambahan, dalam pembaharuan sistem
hukum hendaknya juga disertakan pembaharuan hukum tentang contemp of court.
Aturan contemp of court harus bisa menjangkau siapapun yang terlibat dalam
penegakan hukum. termasuk didalamnya adalan masyarakat. Sebagai wakil Tuhan di
dunia hakim seharunya mendapat penghormatan dan perlindungan. Contemp of Court
hendaknya bisa menjangkau kepada “perbuatan yang tidak mentaati putusan
pengadilan”, sehingga apabila menyangkut peradilan yang melibatkan prajurit
TNI, institusi TNI tidak bisa melakukan dis obey terhadap putusan pengadilan
yang telah dijatuhkan.[12]
B. RUU Peradilan Militer Sebagai
Wujud Kepastian Hukum
Adanya kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR untuk
melanjutkan pembahasan RUU Peradilan Militer merupakan sebuah langkah maju
dalam reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi peradilan militer. Paling
tidak, setelah perdebatan yang tak berujung pangkal mengenai jurisdiksi
peradilan militer, kita bisa melangkah lebih jauh pada hal-hal yang tidak kalah
krusial untuk dibahas.
Dalam pertemuan antara DPR dengan Pemerintah beberapa
waktu yang lalu tersebut disepakati untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan
Militer di tingkat Panitia Kerja (Panja), di mana akan dibahas beberapa hal
antara lain tentang pengadilan koneksitas, serta definisi tindak pidana umum
yang dilakukan prajurit Tentara Nasional Indonesia. Selain itu, ada usulan
untuk melakukan penyesuaian terhadap KUHP, KUHAP, dan KUHP Militer sebelum
aturan tentang Peradilan Militer direvisi. Mencermati perkembangan tersebut,
tim advokasi imparsial merasa menyampaikan beberapa hal, yaitu:[13]
1. Sebagai perangkat dasar bagi warga negara untuk
memperoleh dan mempertahankan hak-haknya, sekaligus juga untuk menjaga dan
melindungi kualitas kewarganegaraan yang demokratis, harus ada kejelasan
mengenai jurisdiksi peradilan, serta independensi dan fairness dari pengadilan.
Dengan demikian sebuah sistem peradilan yang independen, tidak terkooptasi oleh
kekuasaan lain, serta menjamin due process of law, merupakan condition sine qua
non bagi perlindungan hak asasi manusia.
2. Dengan tercapainya kesepakatan mengenai jurisdiksi
peradilan militer, menjadi tidak relevan untuk membahas peradilan koneksitas.
Penghapusan mekanisme perkara koneksitas tidak hanya dengan mencabut perkara
koneksitas dalam undang-undang tentang peradilan militer, tetapi juga harus
dibarengi dengan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan yang bersifat internal
dari TNI dan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan perihal penggunaan perkara
koneksitas di seluruh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
3. Reformasi peradilan militer dengan membatasi
jurisdiksi peradilan militer, sebagai bagian dari perbaikan kualitas demokrasi
dan politik kewarganegaraan kita, tidak serta merta menghapus kebutuhan akan
sebuah peradilan militer yang kuat dan independen. Peradilan militer tetap
diperlukan sebagai mekanisme kontrol internal terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh prajurit TNI.
4. Tentara Nasional Indonesia, sebagai sebuah
institusi yang selama ini menjadi tulang punggung Negara Kesatuan Republik
Indonesia, harus tetap menjunjung tinggi keadilan dengan menempatkan tindak
pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI sebagai tanggung jawab personal.
Dengan demikian, institusi TNI akan semakin kuat, bersih dan berwibawa.
5. Di tataran teknis perundang-undangan, tidak ada
perubahan mendesak yang harus dilakukan terhadap KUHP, mengingat di dalam KUHP
kita tidak ada pengaturan khusus ataupun pengecualian terhadap subyek hukum
tertentu, khususnya prajurit TNI.
6. KUHAP Militer selama ini merupakan bagian dari UU
no. 31/1997 tentang Peradilan Militer. Dengan demikian, pembahasan RUU
Peradilan Militer mencakup pula revisi terhadap KUHAP Militer. Akan menjadi
lebih baik apabila KUHAP Militer ini ditempatkan sebagai aturan tersendiri yang
terpisah dari UU Peradilan Militer, sehingga UU Peradilan Militer sepenuhnya
mengatur mengenai organisasi, struktur dan fungsi peradilan militer.
7. KUHP Militer yang kita miliki saat ini adalah
Wetboek van Militair Strafrecht voor Nederlands Indie (Stb. 1934 Nr. 167) yang
kemudian diubah menjadi UU No. 39 Tahun 1947. UU tersebut sudah diberlakukan di
Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tanggal 1 Oktober 1934 dengan
Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Maret No. 35 Bbl. 1934
Nr. 337. Dengan demikian, memang sudah selayaknya kita menyusun KUHP Militer
yang baru.
8. Presiden harus segera menyampaikan surat resmi
sebagai jawaban atas surat DPR sekaligus untuk mempertegas posisi Pemerintah
terhadap RUU Peradilan Militer. Dengan demikian, Pansus Peradilan Militer serta
Departemen Pertahanan dan Departemen Hukum dan HAM dapat melanjutkan tugasnya
dalam Panitia Kerja RUU Peradilan Militer untuk membahas hal-hal lain yang juga
harus segera dituntaskan dalam proses reformasi peradilan militer ini.
9. Penegasan Panglima TNI mengenai doktrin baru TNI
Tri Dharma Eka Karma, memperkuat kembali signifikansi penegasan jusrisdiksi
peradilan militer sesuai dengan fungsi dasar TNI sebagai alat pertahanan
Negara.[14]
B. Analisis Terhadap
PNS TNI Yang Melakukan Tindak Pidana BerkaitanDengan Tugas/Jabatan Diadili Di
Peradilan Militer
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan
prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan
kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara
koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar
PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan
tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan
militer.
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya. Demikian bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD RI Tahun 1945
setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001. Hal ini menunjukan apapun agama, profesi,
kedudukan sosial, suku, dan lain-lain adalah sama di muka hukum (equality
before the law). Demikian halnya profesi sebagai Prajurit TNI maupun PNS TNI
adalah sama di muka hukum, kecuali telah ditentukan oleh undang-undang terlebih
dahulu.
Mengingat peran TNI sebagai garda terdepan dalam
menghadapi bahaya yang mengancam keutuhan bangsa, maka TNI harus kuat dan
solid. Apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan Prajurit TNI, dan tindak
pidana itu dapat memperlemah TNI, maka disediakan sarana berupa Peradilan
Militer untuk penegakkan hukum, selain juga memiliki peran sebagai bagian
pembinaan personil dan organisasi TNI.
Peradilan Militer tersebut, merupakan peradilan
tersendiri terpisah dari Peradilan Umum, sebagaimana terdapat dalam Penjelasan
Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagai berikut :
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan
peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan-golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan
bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Militer (Prajurit TNI) merupakan golongan rakyat
tertentu, bukan rakyat pada umumnya, dan Peradilan Militer, sampai saat ini
masih dioperasikan untuk mengadili perkara (tindak) pidana.
Sedangkan bagi PNS TNI yang melakukan tindak pidana
berkaitan dengan tugas/jabatannya di lingkungan organisasi TNI belum dapat
diadili di Peradilan Militer, mengingat belum ada peraturan perundang-undangan
yang menyebutkan secara tegas. Oleh karena itu akan dibahas secara singkat
menyangkut filosofi PNS TNI, latar belakang keberadaannya, dan yurisdiksi
Peradilan Militer, sebagai berikut :
Filosofi.
Pegawai Negeri Sipil sebagai mana halnya prajurit TNI
merupakan Pegawai Negeri, sebagaimana diatur dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang
Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, khususnya
Pasal 1 angka 1, yaitu :
Setiap warga negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh Pejabat yang berwenang dan
diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya,
dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999 tersebut,
Pegawai Negeri terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil.
a. Pegawai Negeri Sipil.
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil memiliki kedudukan sebagai unsur
aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan, dan pemba ngunan, sesuai Pasal 3 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999.
Terlihat, bahwa PNS merupakan abdi/pelayan masyarakat
pada umumnya. Sedangkan PNS yang bekerja di lingkungan TNI (dulu PNS ABRI),
bukanlah melayani masyarakat pada umumnya. Lebih-lebih melayani Prajurit TNI,
tetapi bersama-sama Prajurit TNI bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas
pokok ABRI.
Dengan demikian terdapat perbedaan filosofi berkaitan
dengan tugas/jabatan/pekerjaan diantara Pegawai Negeri Sipil, misalnya antara
PNS di lingkungan Pemerintahan Daerah atau PNS suatu Departemen dengan PNS yang
bekerja di lingkungan TNI.
Sedangkan prajurit TNI sesuai Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1998, yaitu :
Warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh Pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh Pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Menurut Kolonel Chk (Purn) SR Sianturi, SH, kata
militer berasal dari bahasa Yunani “miles” yang berarti :
Seseorang yang dipersenjatai dan disiapkan untuk
melakukan pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka
pertahanan dan keamanan negara.
Latar Belakang
keberadaan PNS TNI.
Belum diketahui secara pasti (formal) sejak kapan PNS
berdinas di lingkungan TNI. Dimana pada awalnya, PNS hanya membantu tugas-tugas
TNI atau dengan kata lain, tanpa PNS Prajurit TNI masih dapat menjalankan
tugas-tugasnya. Oleh karena itu, PNS disebut sebagai suplemen Prajurit TNI.
Sejalan dengan perkembangan situasi politik, dimana
TNI juga dituntut berkiprah di luar bidang pertahanan keamanan, maka banyak
tugas yang kemudian menjadi tidak efektif dan tidak efisien apabila dikerjakan
sendiri oleh prajurit TNI, misalnya juru ketik. Meskipun pengetikan tersebut
penting untuk mendukung tugas-tugas TNI.
Sehubungan kondisi tersebut diatas pada tahun 1983,
Menhankam mengeluarkan Surat Telegram No. ST/127/M/1983 tanggal 7 Desember 1983
tentang kedudukan PNS sebagai komplemen. Secara gramatikal, komplemen dapat diartikan
sebagai sesuatu yang melengkapi atau menyempurnakan. Dengan demikian, tanpa
peran PNS, maka tugas-tugas (pokok) TNI tidak akan tercapai/tidak akan
sempurna.
Makna komplemen sebagaimana tersebut diatas, dapat
ditemukan dalam Bagian Umum Petunjuk Pembinaan Pegawai Negeri Sipil ABRI,
sebagai berikut :
a. Organisasi ABRI, selain menggunakan prajurit ABRI,
juga Pegawai Negeri Sipil ABRI dalam jumlah yang cukup besar. PNS ABRI
merupakan “komplemen” dari Prajurit ABRI, oleh karena itu PNS ABRI dan Prajurit
ABRI merupakan suatu kesatuan yang terpadu dan sama-sama bertanggung jawab
dalam pelaksanaan tugas pokok ABRI. Keterpaduan tersebut harus tercermin dalam
semua tingkat organisasi, dan kedua belah pihak wajib memahami peranan
masing-masing.
b. Penggunaan PNS di lingkungan ABRI dilakukan selain
atas pertimbangan adanya beberapa jabatan tertentu yang lebih efektif dan
efisien dijabat oleh PNS ABRI, juga karena sifat penugasan pada umumnya relatif
stasioner, artinya mereka pada dasarnya tidak terkena alih tugas secara
geografis, sifat penugasan yang relatif stasioner, akan menjamin kontinuitas
pelaksanaan tugas pokok ABRI.
c. Penugasan PNS ABRI di lingkungan ABRI tetap
dibatasi dalam bidang non tempur yang bersifat administratif, teknis,
medis/paramedis, dan tugas khusus.
d. PNS ABRI merupakan bagian dari PNS pada umumnya. Oleh karena itu, selain tunduk kepada ketentuan-ketentuan Mabes ABRI dan Dephankam, juga tunduk kepada peraturan/ketentuan yang bersifat umum bagi PNS, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Surat Edaran/Peraturan dari BAKN, LAN dan sebagainya.
d. PNS ABRI merupakan bagian dari PNS pada umumnya. Oleh karena itu, selain tunduk kepada ketentuan-ketentuan Mabes ABRI dan Dephankam, juga tunduk kepada peraturan/ketentuan yang bersifat umum bagi PNS, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Surat Edaran/Peraturan dari BAKN, LAN dan sebagainya.
Dari uraian diatas, terlihat latar belakang PNS TNI,
adalah untuk mendukung tugas pokok TNI, meskipun dalam bidang non tempur.
Dengan demikian, apa yang diketahui oleh Prajurit TNI juga diketahui oleh PNS
TNI, juga termasuk sesuatu yang harus dirahasiakan oleh Prajurit TNI juga harus
dirahasiakan PNS TNI.
Selain itu, berkaitan dengan sifat penugasan PNS TNI yang stasioner, masa pengabdian di lingkungan TNI secara umum jauh lebih lama dibandingkan dengan Prajurit TNI itu sendiri, misalnya untuk golongan Tamtama dan Bintara, mereka pensiun lebih cepat (usia 48 tahun) dibandingkan dengan pensiun PNS TNI (usia 56 tahun), meskipun dengan ijazah dan masuk (mengabdi) pada usia yang sama.
Selain itu, berkaitan dengan sifat penugasan PNS TNI yang stasioner, masa pengabdian di lingkungan TNI secara umum jauh lebih lama dibandingkan dengan Prajurit TNI itu sendiri, misalnya untuk golongan Tamtama dan Bintara, mereka pensiun lebih cepat (usia 48 tahun) dibandingkan dengan pensiun PNS TNI (usia 56 tahun), meskipun dengan ijazah dan masuk (mengabdi) pada usia yang sama.
Sedangkan dilihat dari sudut kepentinganTNI dalam
rangka pelaksanaan tugas pokoknya dikaitkan dengan sifat komplemen PNS TNI,
maka dapat dikatakan keberhasilan maupun kegagalan tugas pokok TNI juga dapat
ditentukan oleh aktifitas PNS TNI tersebut.
Yurisdiksi Peradilan
Militer.
Sesuai Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, diakitkan dengan Pasal 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM), maka Peradilan Militer mengadili tindak pidana
didasarkan pada subyeknya, yaitu prajurit (militer) atau yang dipersamakan.
Dengan kata lain, selama ia militer, dan melakukan tindak pidana apa saja, baik
tindak pidana militer (murni), seperti desersi, insubordinasi, dan lain-lain
juga tindak pidana umum, seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, atau
pencurian, dan lain-lain maupun tindak pidana khusus, seperti penyalahgunaan
psikotropika/shabu-shabu, narkotika, korupsi, dan lain-lain diadili di
peradilan militer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas-tugas/jabatan
kemiliteran.
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan
prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan
kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara
koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar
PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan
tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan
militer.
Sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang
koneksitas, maka titik berat diadilinya seseorang warga sipil (civilian) di
peradilan militer, karena unsur (kerugian) militer melebihi unsur sipil,
sebagaimana Penjelasan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 14 Tahun 1970, sebagai
berikut :
Penyertaan pada suatu delik militer yang murni oleh
seorang bukan militer dan perkara penyertaan, di mana unsur militer melebihi
unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan Pengadilan lain
dari pada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara
demikian.
Dengan demikian, selama akibat tindak pidana tersebut
dapat dibuktikan merugikan kepentingan militer, misalnya pencurian
senjata/amunisi di gudang senjata, membunuh caraka untuk memperoleh
data/informasi militer, membakar gedung arsip/dokumen militer, dan lain-lain,
maka pelaku akan diadili di Peradilan Militer.
Diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer di masa depan
dapat merujuk kepeda kewenangan Peradilan Militer jaman Pemerintahan Kolonial
Belanda, yaitu Krijgsraad berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada
tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang
bekerja di lingkungan kemiliteran.
Orang-orang sipil tersebut, saat ini dapat diartikan
sebagai Pegawai PNS TNI, karena kenyataannya bekerja di lingkungan TNI atau
orang-orang sipil lainnya bukan PNS TNI tetapi bekerja di lingkungan TNI atau
setidak-tidaknya memperoleh gaji dari TNI.
Selain itu, untuk mendukung dapat diadilinya PNS TNI
di Peradilan Militer, sebagai contoh adalah pelanggaran lalu lintas oleh PNS
TNI, yaitu apabila PNS TNI mengemudikan kendaraaan dinas TNI, kemudian diberi
bukti pelanggaran (tilang) oleh polisi Militer (POM) karena kedapatan tidak
membawa SIM atau STNK, maka ia akan diproses oleh POM, selanjutnya disidang di
pengadilan militer.
Mengingat tugas-tugas (pokok) TNI juga bergantung pada PNS TNI, maka sudah selayaknya PNS TNI yang melakukan tindak pidana karena jabatannya/tugas-tugasnya juga yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI dapat dijadikan yurisdiksi peradilan militer. Selain itu, keutuhan atau kekuatan suatu bangsa (negara) juga bergantung pada keutuhan atau kekuatan militernya. Sebagaimana disampaikan oleh Kasad, yaitu untuk menghancurkan suatu negara, maka harus dihancurkan tentaranya terlebih dahulu.
Mengingat tugas-tugas (pokok) TNI juga bergantung pada PNS TNI, maka sudah selayaknya PNS TNI yang melakukan tindak pidana karena jabatannya/tugas-tugasnya juga yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI dapat dijadikan yurisdiksi peradilan militer. Selain itu, keutuhan atau kekuatan suatu bangsa (negara) juga bergantung pada keutuhan atau kekuatan militernya. Sebagaimana disampaikan oleh Kasad, yaitu untuk menghancurkan suatu negara, maka harus dihancurkan tentaranya terlebih dahulu.
Dari penyampaian tersebut dapat dikatakan, ada
korelasi positif antara tentara (militer) yang kuat, utuh dan solid dengan
eksistensi suatu negara (bangsa). Demikian pula sebaliknya, apabila tentara
suatu negara lemah, terpecah-pecah, maka dapat dipastikan negara tersebut akan
mudah hancur.
Dimungkinkannya PNS TNI yang melakukan tindak pidana
berkaitan dengan
tugas-tugas/jabatannya atau yang dapat diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI atau dengan kata lain merugikan unsur (kepentingan) militer, diproses melalui Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM), maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu berkaitan dengan Ankum dan Papera, karena selama ini ketentuan tentang keankuman dan kepaperaan hanya untuk Prajurit TNI (militer).
tugas-tugas/jabatannya atau yang dapat diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI atau dengan kata lain merugikan unsur (kepentingan) militer, diproses melalui Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM), maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu berkaitan dengan Ankum dan Papera, karena selama ini ketentuan tentang keankuman dan kepaperaan hanya untuk Prajurit TNI (militer).
Demikian halnya apabila PNS TNI melakukan tindak
pidana tidak berkaitan dengan tugas/jabatannya, tetapi tempat kejadian perkara
(locus delicti) terjadi di dalam markas/pangkalan atau yang dipersamakan dengan
markas/pangkalan (military property), apakah penyidik sipil (Polri) dapat diijinkan
melakukan penyelidikan di dalam markas/pangkalan tersebut. Mengingat sampai
saat ini, belum ada Undang-Undang yang mengatur dan adanya resistensi,
sebagaimana dinyatakan oleh Laksa Mahmilgung, yaitu :
Tradisi keprajuritan seperti, cepat bereaksi, L’esprit
de corps, loyalitas, kesetiakawanan, berani dan rela berkorban ini menjadikan
setiap prajurit sangat rawan dalam kecenderungan menolak bahkan melawan
terhadap orang lain (bukan prajurit) yang masuk untuk menangani masalah-masalah
yang menyangkut prajurit atau kesatuannya. Lebih rentan lagi, karena tugasnya,
prajurit membawa senjata.
Mengingat masih adanya kesulitan-kesulitan di lapangan
nantinya, disarankan diadakan diskusi-diskusi atau tukar pikiran (curah
pendapat) terlebih dahulu dengan pejabat-pejabat PNS, khususnya di lingkungan
TNI juga dari Departemen dibawah Menpan berkaitan dengan tindak pidana yang
dilakukan PNS TNI berkaitan dengan tugas/jabatannya untuk diadili di Pengadilan
Militer. Selain itu, perlu diadakan amandemen (perubahan) Undang-undang Nomor
31 Tahun 1997, khususnya Pasal 9 angka 1 dan diletakan menjadi huruf e dengan
bunyi : PNS TNI berkaitan dengan tugas jabatan atau tidak berkaitan dengan
tugas jabatan tetapi dilakukan didalam Markas TNI atau yang dipersamakan dengan
Markas TNI.
Lebih dari itu, mengingat peran PNS TNI bukan lagi
sebagai suplemen Prajurit TNI tetapi sudah menjadi komplemen, dan semata-mata
untuk kepentingan tugas pokok TNI, maka sudah saatnya PNS (pejabat PNS TNI atau
mereka yang memahami peran-peran PNS TNI) diberikan kesempatan untuk memberikan
semacam penyuluhan (hukum) kepada prajurit TNI berkaitan dengan keberadaan PNS
TNI dalam organisasi TNI, peran, hubungannya dengan tugas-tugas pokok TNI dan
prajurit TNI status, pendidikan, karir, dan lain-lain, karena (diperkirakan)
masih banyak prajurit TNI yang belum memahami atau belum mengetahui peran-peran
PNS TNI sebagaimana tersebut di atas.[15]
III. KESIMPULAN
Dari makalah yang kami susun ini, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan secara umum, yaitu sebagai berikut:
1.
Undang-undang mengenai kekuasaan
kehakiman dalam perdilan militer terus berkembang di Indonesia. Yang tadinya
hanya terdiri dari formilnya saja, sampai telah mencakup segi materilnya juga.
Pengertian tentara secara formilnya menurut Undang-undang dapat ditemukan dalam
pasal 46, 47, dan 49 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (S. 1934-164
yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947.
2.
Peradilan militer merupakan peradilan
khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI
atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP
ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang
melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.
3.
Meskipun bukan prajurit atau yang
dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana
tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan
militer (perkara koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang
sipil (di luar PNS TNI) dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang
melakukan tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh
peradilan militer.
4.
Diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer
di masa depan dapat merujuk kepada kewenangan Peradilan Militer jaman
Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu Krijgsraad berwenang memeriksa dan
mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer
dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran.
IV. PENUTUP DAN
SARAN
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga dapat
berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu hukum
ketatanegaraan di Indonesia. kami mohon maaf apabila di dalam makalah yang kami
susun masih terdapat banyak kekurangan.
Adapun saran-saran dari kami yang menyangkut tema
makalah yang kami susun adalah sebagai berikut:
1.
Sejarah perkembangan Peradilan militer
di Indonesia harusnya dapat menjadikan gambaran bagaimana idealnya system
peradilan militer tersebut. Sehingga dapat terbentuk kepastian hukum dalam
lingkup kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak lain.
2.
Pembangunan bidang budaya hukum harus
diarahkan kepada pentaatan kepada hukum, seorang prajurit TNI yang melakukan
tindak pidana umum harus tunduk disidik oleh penyidik polisi, atau jaksa, dan
ini memerlukan masa transisi yang agak lama.
3.
Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Demikian bunyi Pasal 27 ayat (1)
UUD RI Tahun 1945 setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001. Hal ini menunjukan
apapun agama, profesi, kedudukan sosial, suku, dan lain-lain adalah sama di
muka hukum (equality before the law). Demikian halnya profesi sebagai Prajurit
TNI maupun PNS TNI adalah sama di muka hukum, kecuali telah ditentukan oleh
undang-undang terlebih dahulu.
V. DAFTAR PUSTAKA
-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar BahasaIndonesia, cet.2,
Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
-
Faisal Salam, Moch. Hukum Acara Pidana Militer Di Indonesia. cet 2. Bandung:
Mandar Maju, 2002.
-
Indrajit, Kapten Chk, Analisis Terhadap PNS TNI Yang Melakukan Tindak Pidana
Berkaitan Dengan Tugas/Jabatan Diadili Di Peradilan Militer. Artikel dari Internet.
-
Setiadi, Edi. Sebuah Makalah Pengantar. Artikel dari Internet. Bandung: 23
Desember 2006.
-
Sianturi, S.R. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, cet.2, Jakarta ; Alumni
AHAEM-PETEHAEM, 1985.
-
Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal, bogor : Politela, 1981.
-
Subekti, R. dan Tjitrosudibio. Kamus Hukum, cet. 10, Jakarta ;Pradnya Paramita,
1989.
-
Soegiri, dkk. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik
Indonesia, cet. 1, Jakarta ; Indra djaja, 1976.
-
Tarigan, N., Laksamana Muda TNI. “Kekuasaan Peradilan atas Pelanggaran Hukum
Pidana Umum oleh Tentara,” Makalah disampaikan pada seminar sehari tentang
“Metoda (Format) Implementasi Praktis dari Ketetapan (TAP) MPR nomor :
VII/MPR/2000.” Yayasan Sandi Perkotaan (Sandikota), Jakarta: 13 Pebruari 2001.
0 komentar:
Posting Komentar