MENUJU PURIFIKASI DAN INDEPENDENSI PERADILAN MILITER
Institusi militer merupakan institusi unik karena
peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang
punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan
prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan
keselamatan negara. Untuk itu, hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki mekanisme
peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer.
Di Indonesia, peradilan militer diatur dalam UU No. 31 tahun 1997
tentangperadilan militer. Dalam UU tersebut, diatur beberapa hal mengenai
yurisdiksiperadilan militer, struktur organisasi dan fungsi peradilan militer, hokum
acaraperadilan militer dan acara koneksitas, serta hukum tata usaha militer.
Seiring
dengan reformasi yang terjadi di Indonesia pada 1998, muncul wacana mengenai
perlunya reformasi sektor keamanan di Indonesia. Reformasi sektor keamanan ini
pada intinya bertujuan untuk menciptakan good governance di sektor keamanan serta
menciptakan lingkungan yang aman dan tertib, sehingga dapat menopang tujuan
negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Dengan diperkuat oleh
wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang sudah muncul jauh hari sebelumnya,
salah satu yang didorong untuk dilakukannya perubahan mendasar adalah sistem peradilan militer.
Otoritarianisme
Orde Baru yang ditopang oleh kekuasaan militer, selain melahirkan pelanggaran hak asasi
manusia, juga menciptakan sebuah sistem hukum yang membentengi tindak kejahatan
dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh anggota militer. Akibatnya, meskipun Orde
Baru sudah runtuh namun upaya untuk membawa prajurit militer yang melakukan tindak pidana,
khususnya tindak pidana pelanggaran HAM dan korupsi, selalu mentok di tengah
jalan.
Di sisi
lain, dalam sistem peradilan militer tidak ada kejelasan mengenai jaminan terhadap hak-hak sipil bagi anggota militer ketika mereka berurusan
denganperadilan militer. Hak untuk didampingi pengacara, hak untuk mengetahui
alasan penangkapan dan/atau dakwaan, hak untuk tidak diintimidasi dan disiksa,
hak untuk menghubungi dan bertemu keluarga, dan lain-lain, sama sekali tidak
diatur dalam sistem peradilan militer kita. Prajurit atau anggota militer bagaimanapun juga merupakan warga negara (citizens in uniform).
Dengan demikian, mereka juga memiliki hak yang sama di muka hukum dengan warga
negara yang lain, di mana negara harus menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Ketika
seorang anggota militer melakukan sebuah tindak pidana, ada beberapa jalur hukum yang mereka
miliki. Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997, apapun bentuk tindak pidana yang
dilakukan maka mereka akan diadili di peradilan militer. Kalaupun ada unsur tindak pidana
umum di dalamnya, atau tindak pidana tersebut dilakukan bersama-sama dengan
warga sipil, maka harus digunakan hukum acara koneksitas. Di mana dalam hukum
acara koneksitas ini, harus dibentuk sebuah tim koneksitas yang mensyaratkan
adanya keputusan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan serta persetujuan dari
Menteri Kehakiman.
Dalam
penanganan kasus pelanggaran HAM, penggunaan perkara koneksitas telah menutup
unsur-unsur pelanggaran berat HAM serta menghilangkan keberadaan
prinsip-prinsip universal dari hukum internasional seperti pertanggungjawaban
komando dan perintah atasan (command responsibility and superior order).
Hal ini disebabkan sering kali atasan dalam tingkat perwira tinggi yang masuk
dalam rantai komando dan berhak memberikan perintah justru tidak menjadi orang
yang bertanggungjawab melainkan menjadi atasan yang berhak menghukum (Ankum).
Fungsi Ankum
dan juga Papera yang ada di dalam sistem peradilan militer, seperti disinggung di atas, menjadi
satu persoalan tersendiri dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia. Ankum dan
Papera punya kewenangan untuk menentukan mekanisme hukum yang akan diterapkan
terhadap sebuah tindak pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer. Ankum dan Papera memiliki
otoritas untuk menentukan apakah sebuah tindak pelanggaran ditempatkan sebagai
pelanggaran disiplin, tindak pidana militer atau tindak pidana umum. Bahkan ketika sebuah
pelanggaran hanya dianggap sebagai sebuah pelanggaran disiplin, Ankum dapat
langsung menentukan dan memberikan hukuman. Papera, berdasarkan UU No. 31 Tahun
1997 punya diskresi untuk menentukan apakah sebuah hasil penyidikan akan
diteruskan ke tingkat penuntutan atau tidak. Luasnya kewenangan kedua institusi
tersebut serta kecenderungan lingkungan militer yang eksklusif, membuka peluang yang sangat luas bagi
terjadinya penutupan/pemberhentian terhadap kasus-kasus yang sebenarnya
merupakan wilayah hukum pidana umum.
Di
lingkungan militer juga ada institusi DKM/DKP. Institusi ini sebenarnya dibentuk untuk
memelihara kehormatan Korps Perwira dan mengurusi pelanggaran tabiat dan
disiplin perwira. Namun dalam prakteknya banyak mengambil alih perkara-perkara
tindak pidana yang dilakukan perwira militer, sehingga menutup ruang bagi sistem peradilan
yang ada untuk menjalankan fungsinya.
Mekanisme-mekanisme
penyelesaian terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer di atas sepenuhnya merupakan
pengambilalihan mekanisme hukum yang sepatutnya berlaku ke dalam mekanisme
penyelesaian internal militer. Penyelesaian internal inilah yang terbukti melahirkan impunitas
dan ketidakadilan atas sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer.
Di sisi
lain, persoalan peradilan militer semakin kompleks dengan adanya ketidakjelasan dan saling tumpang tindih
antara tindak pidana militer, tindak pidana umum dan pelanggaran disiplin militer. Selain itu, aturan mengenai
tindak pidanamiliter berdasar pada UU No. 39 Tahun 1947 yang merupakan hasil adopsi dari Kitab
Undang-Undang hukum Pidana militer Belanda ketika masih menjajah Indonesia. Dengan adanya rencana untuk
melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang hukum Pidana yang juga dianggap
sudah teidak relevan dengan perkembangan masyarakat, maka sudah sepantasnya
juga dilakukan perubahan terhadap KUHPM agar sesuai dengan semangat zaman.
Upaya untuk
melakukan perubahan terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sudah mulai dilakukan sejak tahun
2000, ketika DPR menyusun sebuah draft RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997
tentang peradilan militer. Ketika akhirnya masuk pembahasan melalui Pansus, muncul
perbedaan pendapat antara DPR dengan Pemerintah. Selama satu tahun pembahasan
di tingkat Pansus, Pemerintah dan DPR masih berkutat pada persoalan
kompetensi/yurisdiksi dari peradilan militer. Persoalan yurisdiksi ini baru mencair dengan
adanya pernyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan bahwa
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Perdebatan
panjang dalam pembahasan RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer tersebut sebenarnya tidak perlu
terjadi mengingat sudah banyak argumentasi yang lebih dari memadai untuk
melakukan perubahan secara substansial terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Politik kewargaan
yang menempatkan anggota militer sebagai sesama warga negara dengan warga sipil lainnya, serta prinsip
negara hukum (rechstaat) yang dipegang oleh Indonesia, mengharuskan
ditegakkannya asas kesamaan di muka hukum (equality before the law).
Selain itu, di tataran internasional, dengan perkembangan peradaban yang menjunjung
tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, sistem peradilan militer sudah mulai mengarah pada satu
prinsip, di mana yurisdiksiperadilan militer harus terbatas pada pelanggaran tindak pidana militer.
Perbandingan peradilan militer di negara lain juga menunjukkan
adanya satu kecenderungan baru yang perlu dipertimbangkan, menyangkut soal
penghapusanperadilan militer di masa damai, “sipilisasi” peradilan militer, pelarangan pengadilanmiliter terhadap warga sipil, pencegahan
masuknya pelanggaran HAM dan kejahatan perang dalam yurisdiksi peradilan militer, dan lain sebagainya. Karena
dengan itu kita bisa belajar dari pengalaman dan praktek berbangsa dari negara
lain, khususnya dalam pembangunan demokrasi dan hak asasi manusia.
Dari
berbagai data yang didokumentasikan Imparsial, ketidakadilan dalamperadilan
militer, bukan semata-mata pada persoalan proses dan/atau keputusan pengadilan militer yang tidak memenuhi rasa keadilan
publik. Namun lebih dari itu, dalam sistem peradilan militer, hak-hak tersangka dan terdakwa
kurang dijamin, bahkan cenderung diabaikan. Bagaimanapun juga prajurit TNI
merupakan warga negara yang memiliki hak sebagai yang sama dengan warga negara
lainnya. Sebagai warga negara, meskipun diduga atau terbukti melakukan
kejahatan, bukan berarti dia kehilangan hak-hak dasar yang dimilikinya sebagai
manusia maupun sebagai warga negara. Pengakuan terhadap hak-hak
tersangka/terdakwa dalam peradilan militermasih sangat lemah. Bahkan dalam beberapa pasal UU No. 31
Tahun 1997 tentangperadilan militer malah secara tegas membatasi hak-hak tersebut.
Praktek
penyelenggaran peradilan militer di Indonesia juga terlihat mengarah pada pemberian hukuman yang tidak
sesuai dengan rasa keadilan publik, serta cenderung tertutup dari kontrol
publik. Ketidakadilan dan ketertutupan tersebut juga melanda aspek-aspek lain
dalam sistem peradilan militer, terutama dalam penggunaan mekanisme koneksitas dan
eksistensi Dewan Kehormatan militer/Dewan Kehormatan Perwira. Dengan demikian harus dilakukan perubahan
terhadap mekanisme hukum yang berlaku di tubuh militer.
Di tataran
makro, reformasi peradilan militer juga sudah merupakan amanat nasional yang tertuang dalam Tap MPR No. VII
Tahun 2007 tentang Peran dan Tugas TNI/Polri dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia. Agenda reformasi keamanan yang termanifestasikan
dalam aturan-aturan perundang-undangan di atas secara tegas telah menyatakan
bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan
peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
UU No. 31
Tahun 1997 tentang peradilan militer juga memiliki banyak kelemahan sehingga semakin memperkuat signifikansi
revisi terhadapnya. Selain persoalan-persoalan yang sudah dipaparkan di atas,
penempatan aturan mengenai hukum acara Pidana militer semestinya tidak disatukan dalam UU
tentang peradilan militer. Demikian juga berkaitan dengan telah adanya aturan
mengenai Tata Usaha Negara melalui UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan Tata
Usaha Negara, maka tidak semestinya peradilan militer memiliki yurisdiksi tersendiri/khusus terhadap tata
usaha militer.
Berdasarkan
pengalaman sejarah, amanat reformasi serta perkembangan dan perbandingan
internasional, Undang-Undang peradilan militer yang baru harus memenuhi prinsip-prinsip dasar tertentu. Prinsip-prinsip
dasar yang menyangkut soal yurisdiksi, transparansi, akuntabilitas, pembatasan
kewenangan serta posisi dalam struktur kekuasaan kehakiman tersebut sudah
sepantasnya mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, dengan
tetap mempertahankan wibawaperadilan militer sebagai mekanisme kontrol internal TNI.
RUU
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer yang sedang dibahas oleh DPR saat ini, apabila kita
kaji dengan mengacu pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, masih
banyak memiliki kekurangan. RUU RUU Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer hanya melakukan perubahan-perubahan
minor dan redaksional terhadap UU No. 31 Tahun 1997peradilan militer, seperti
perubahan istilah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI
(Tentara Nasional Indonesia) dan perubahan dari “penasehat hukum” menjadi
“advokat”. Masukan-masukan serta kritik yang sudah dikemukakan terhadap RUU
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1997 tentangperadilan militer ini mengarah pada perlunya perubahan
yang mendasar terhadap sistem peradilan militer di Indonesia.
Dari segi
organisasional serta operasional peradilan militer, ada dua persoalan pokok yaitu
kedudukan peradilan militer dalam kekuasaan kehakiman yang berimplikasi pada pengaruh komando dalam hal
ini Mabes TNI dalam peradilan militer, serta mekanisme beracara dalam peradilan militer yang disebabkan dari permasalahan
organisasional peradilan militer. Oleh karena itu salah satu poin penting dalam perubahan
ini adalah memindahkan Babinkum dan organisasi peradilan militerdi bawah Departemen
Pertahanan, serta mempertegas kedudukan peradilan militer di tingkat kasasi (di Mahkamah Agung) sebagai
institusi sipil. Dengan demikian seluruh hakim yang ada di dalam MA, termasuk
Hakim Agung militer harus lah berstatus sipil.
Dengan
melihat signifikansi reformasi peradilan militer yang merupakan bagian krusial dalam reformasi di bidang pertahanan dan
keamanan untuk membangun TNI yang profesional dan modern, serta kompleksitas
persoalanperadilan militer di Indonesia, maka IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor, merekomendasikan beberapa hal
sebagai berikut:
Tentang
Proses Legislasi
1.
RUU
Perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1997 hendaknya hanya mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan struktur, organisasi, serta fungsiperadilan militer.
2.
Pemerintah
dan DPR harus membuat agenda bersama untuk membuka dan
mengembangkan wacana publik tentang Sistem peradilan militer yang demokratis dan modern serta perlunya revisi
UU/RUU peradilan militer.
3.
Keterlibatan
masyarakat sipil harus diperkuat dalam proses perumusan dan pembahasan RUU peradilan militer dengan membuka dan mengembangkan
wacana publik tentang Sistem peradilan militer yang demokratis dan modern agar tetap dalam koridor demokrasi dan hak asasi
manusia.
4.
Pemerintah
dan DPR harus segera melakukan revisi terhadap KUHPM dan KUHDM.
5.
Akan lebih
baik apabila hukum acara Pidana militer dikeluarkan dari dari Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Konsekuensinya,
Pemerintah dan DPR harus membuat Kitab Undang-Undang hokum acara militer secara tersendiri.
6.
peradilan
militer harus pula memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga dapat
dikontrol oleh publik, dengan tetap mempertahankan kewibawaannya sebagai alat
kontrol prajurit TNI.
Tentang
Yurisdiksi
Sejauh ini,
kesepakatan yang sudah dicapai antara DPR dengan Pemerintah dalam hal
yurisdiksi baru terbatas pada dua hal, yaitu prajurit TNI yang melakukan tindak
pidana umum diadili di peradilan umum; dan penghapusan pengadilan koneksitas.
Untuk melengkapi kesepakatan tersebut, kami merekomendasikan beberapa hal
berkaitan dengan yurisdiksi peradilan militer:
1.
Yurisdiksi peradilan militer berdasarkan tindak pidana yang disangkakan
tersebut (ratione materiae) hanya terbatas pada tindak pidana militer yang diatur dalam Kitab
Undang-undang hukum Pidana (KUHP) militer.
2.
Tindak
pidana pelanggaran berat HAM dan kejahatan perang tidak boleh menjadi
yurisdiksi peradilan militer.
3.
Yurisdiksi peradilan militer berdasarkan pelaku tindak pidana (ratione
personae) hanya terbatas pada mereka yang menjadi anggota militer serta yang dipersamakan.
4.
Yurisdiksi peradilan militer berdasarkan tempat terjadinya tindak
pidana (ratione loci) hanya terbatas pada medan pertempuran ketika
Indonesia sedang dalam situasi perang. Dalam hal Operasi militer Selain Perang, hal ini tidak
termasuk sebagai ”situasi perang”.
5.
Yurisdiksi materiae, personae dan loci di atas berlaku dalam situasi damai.
Dalam situasi perang, yurisdiksi materiae, personae dan loci di atas dapat diperluas jika dan
hanya jika ada keputusan/persetujuan dari DPR.
6.
Pada
prisipnya di masa damai yurisdiksi peradilan militer harus dibatasi. Namun perlu juga dipertimbangkan untuk
menghapus yurisdiksi peradilan militer di masa damai.
7.
Seluruh
ketentuan-ketentuan perihal penggunaan perkara koneksitas di seluruh peraturan
perundang-undangan harus dihapus, termasuk seluruh ketentuan-ketentuan yang
bersifat internal dari TNI yang mengatur perkara koneksitas.
8.
Yurisdiksi
tata usaha militer harus dihapuskan dari sistem peradilan militer.
Tentang
Organisasi dan Struktur Peradilan Militer
1.
Untuk
menghindari pengaruh komando (command influence) Personil Korps hukum militer harus dimasukkan di bawah Babinkum,
dengan memindahkan Babinkum ke bawah Departemen Pertahanan.
2.
Fungsi-fungsi
pembinaan personel militer serta pembinaan organisasi, prosedur, administrasi, dan finansial di
lingkungan peradilan militer harus dilepaskan dari Mabes TNI dan diserahkan sepenuhnya kepada Departemen
Pertahanan.
3.
Dalam
penanganan kasus, peradilan militer masih tetap di bawah Mahkamah Agung. Namun demikian di tingkat MA, Hakim
Agung mesti berstatus sipil.
Dengan
demikian posisi peradilan militer dalam struktur ketatanegaraan adalah: (lihat halaman berikut
Tentang Masa
Transisi
1.
Dalam masa
transisi harus dilakukan sosialisasi kepada prajurit TNI mengenai perlunya
perubahan peradilan militer sebagai upaya untuk menjamin hak-hak mereka di muka hukum.
2.
Harus segera
disusun langkah-langkah persiapan bagi proses transisi perubahan yurisdiksi peradilan militer. Baik persiapan
aparat peradilan umum untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana
umum, maupun persiapan prajurit TNI untuk diadili di peradilan umum ketika
melakukan tindak pidana umum.
3.
Masa
transisi perubahan peradilan militer hendaknya tidak lebih dari 2 tahun dan memiliki tahapan serta target yang
jelas dan terukur, sehingga dapat dikontrol oleh publik.
Tentang
Teknis Peradilan Militer
Pemerintah
harus segera menyusun Peraturan Pemerintah yang memperjelas dan membatasi
kewenangan DKP terbatas pada soal tabiat Perwira. Tak kalah lebih penting, Peraturan
Pemerintah ini harus pula secara tegas menjelaskan pengertian dan golongan
perwira yang hendak diperiksa melalui DKP.
1.
Kewenangan
Ankum dan Papera harus dibatasi. Ankum dan Papera tidak boleh punya wewenang
penuh dalam menentukan yurisdiksi pengadilan terkait dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh prajurit TNI.
2.
peradilan
militer harus mengadopsi mekanisme habeas corpus, yaitu mekanisme untuk mempertanyakan (complaint) sekaligus menguji sah tidaknya suatu
tindakan penangkapan atau penahanan, serta mekanisme-mekanisme lain yang
merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa di lingkungan peradilan militer. Dengan adanya
mekanisme-mekanisme tersebut hak asasi tersangka dan keluarganya dalamperadilan
militer akan lebih terjamin dan terlindungi.
3.
Struktur
kekuasan pengadilan militer harus diubah, di mana Pengadilan militeradalah sebagai pengadilan tingkat pertama untuk
semua prajurit yang melakukan tindak pidana militer, sedangkan Pengadilan Utama adalah pengadilan
tingkat banding.
ANALISIS :
ANALISIS PELAKSANAAN PERADILAN MILITER BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER
Militer
merupakan orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. karena itu
bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Institusi
militer merupakan institusi yang peran dan posisinya khas dalam struktur
kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer
dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam
menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara.
Dalam prakteknya Hukum Pidana Militer dipisahkan menjadi Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum material dan hukum acara pidana
militer sebagai-mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer sebagai hukum formal. Terhadap setiap perbuatan yang
merupakan pelanggaran hukum dengan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh
Prajurit TNI atau yang dipersamakan dengan Prajurit TNI, maka berdasarkan
ketentuan Hukum Pidana Militer harus diproses melalui Pengadilan Militer.
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Pengadilan adalah
badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer
Pertempuran.
Pendekatan
masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat
yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, data sekunder diperoleh
melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif. Populasi
yang diambil adalah Ankum pada Den POM, Polisi militer pada Den Pom, dan
Oditurat pada UPT Oditur Militer. Responden terdiri dari 1 orang Ankum pada Den
POM II/3 Bandar Lampung, 1 orang Polisi Militer pada Den POM II/3 Bandar
Lampung dan 1 orang Oditur pada UPT Oditur Militer 104 Bandar Lampung.
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan bahwa pelaksanaan peradilan militer
dilaksanakan dari mulai penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan dan
eksekusi berbeda dengan peradilan umum, tidak hanya secara teknis melainkan
aparat penegak hukum yang ikut dalam proses penyelesaian perkara di lingkungan
peradilan militer. Dengan Ankum, Polisi Militer dan Oditur sebagai penyidik,
serta Oditur sebagai penuntut, dan Hakim yang ditunjuk sebagai Hakim Militer.
Tingkatan Peradilan dalam lingkup peradilan militer yakni Peradilan Militer,
Peradilan Militer Tinggi, Peradilan Militer Utama dan berakhir pada Mahkamah
Agung.
Beberapa
faktor penghambat dalam pelaksanaan Peradilan Militer yang pertama faktor
perundang-undangan. Adanya perbedaan asas keseimbangan antara kepentingan
militer dengan kepentingan hukum sebagaimana kita ketahui bahwa kepentingan
hukum antara lain berfungsi menjamin adanya kepastian hukum, yaitu adanya
kepastian dalam hubungan-hubungan subyek hukum yang dijamin oleh
ketentuan-ketentuan hukum, oleh karena itu tugas dan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang membatasi pelaksanaan peradilan militer,, yang kedua faktor
penegak hukum yang kurang maksimal dalam melaksanakan tugas sesuai dengan semestinya
dan kurang aktif dalam melaksanakan penegakan hukum di lingkungan militer.
Kinerja aparat penegak hukum yang berada di dalam struktur organisasi TNI tidak
bersifat sendiri. Keberhasilan kinerja mereka akan sangat tergantung dari
kebijakan para Komandan sesuai fungsi dan kewenangannya yaitu sebagai Ankum dan
atau Papera yang memberi pengaruh terhadap tindakan hukum atas bawahannya, dan
yang ketiga faktor peningkatan kesadaran dan penegakan hukum bagi Prajurit TNI
perlu dijadikan sebagai prioritas kebijakan dalam pembinaan personel TNI,
karena kurangnya pemahaman hukum di kalangan Prajurit TNI merupakan salah satu
penyebab terjadinya pelanggaran hukum di samping pengaruh-pengaruh lainnya baik
yang bersifat internal maupun eksternal.
Pada bagian
akhir penulisan ini yang disarankan penulis adalah Pemerintah harus segera
menyusun Peraturan Pemerintah yang memperjelas dan membatasi kewenangan Ankum,
Polisi Militer, dan Oditur sebagai penyidik, agar tidak adanya pengaruh
kesatuan yang berlebihan terhadap setiap pelanggaran oleh Prajurit TNI demi
tegaknya keadilan. Perlu adanya perubahan mengenai peradilan militer untuk
lebih menjelaskan mekanisme penangkapan, penahanan dan penyitaan terhadap
hak-hak warga sipil sebagai tersangka atau terdakwa di lingkungan Peradilan
Militer. Perlu adanya Amandemen Undang-undang mengenai peradilan militer yang
lebih berpihak pada keadilan dan terciptanya kepercayaan terhadap penanganan
hukum di lingkungan militer.